April 23, 2009

Traveling (and Partying) with Father



Yasmin dan Jana bergembira-ria ketika saya kabari bahwa acara liburan kami di Cebu tergantung ‘pria lajang yang ganteng’, tapi mereka langsung melongo begitu saya bilang, “Dia seorang Romo”. Ya, Father di sini bukan berarti ‘ayah’, tapi Pastor agama Katolik. Seumur hidup kami belum pernah kenal dengan seorang Pastor, apalagi berteman dekat. Adalah teman sekelas saya seorang Pastor bernama Father Generoso, 46 tahun, ia menawarkan saya untuk mengajak jalan-jalan di Cebu. Semua orang memanggilnya Father, bahkan dosen kami yang tua-tua juga memanggilnya Father. Di Filipina yang 90% penduduknya beragama Katolik, hal itu adalah biasa. Konon tiga profesi di sana dengan penghasilan terbesar adalah dokter, pengacara dan Pastor. Tak heran seorang Pastor sangat dihormati, bahkan Pastor asal Filipina jadi ‘laku’ di seluruh dunia karena zaman sekarang profesi Pastor kurang diminati orang Barat.

Father Generoso yang sudah bergelar Master in Theology dikirim lagi belajar ke sekolah bisnis oleh serikat gerejanya, SVD (Societas Verbi Divini, dalam bahasa Inggris-nya Society of the Divine World). SVD yang didirikan tahun 1875 ini sederhananya adalah serikat misionaris. Selain mengembangkan ajaran Katolik, SVD dikelola seperti layaknya corporate - mereka memiliki dan mengelola sekolah, universitas, restoran, stasiun radio, sampai rumah sakit. Tapi Father bukanlah seorang Pastor seperti dalam gambaran saya sebelumnya: tua, alim, dan jaim. Orangnya ganteng, badannya tinggi dan tegap, pakaiannya juga biasa saja - jeans dan t-shirt, ditambah lagi harum parfumnya yang selalu semerbak. Father adalah seorang pria yang sangat menyenangkan untuk berteman, ia ramah, humoris, dengan nada suaranya tidak pernah naik. Tapi begitu saya mengikuti Misa yang dipimpinnya, rasanya ada jarak yang sangat jauh sekali di antara kami. Ia begitu berkharisma, sangat berbeda dengan kehidupan sehari-harinya sebagai mahasiswa.

Singkat cerita, tanggal 22 Desember 2007 jam 8 malam, Father menjemput kami di airport Mactan. Kami diperkenalkan dengan Brother Gabriel, 35 tahun, seorang Indonesia asal Kupang yang sudah tinggal 10 tahun di Cebu. Saya baru tahu kalau selain Sister (seperti di film Sister Act-nya Whoopi Goldberg), ada juga Brother. Mereka juga melayani jemaat, tapi tidak bisa memimpin Misa. Kami langsung dibawa ke aula University of San Carlos (USC), tempat Father bekerja. USC adalah salah satu sekolah tertua di Filipina, berdirinya saja tahun 1595. “Let’s join Christmas party of our school staffs,” katanya.

Jadilah kami didudukkan di meja VIP paling depan sambil menyaksikan nyanyian dan tarian persembahan karyawan, tak lupa menyantap makanan yang sudah disediakan khusus di meja. Kami tersenyum salting mengalami kejadian yang serba kikuk ini. Lagi asik mengobrol, tiba-tiba suasana hening. Terdengar seorang pria tua yang sedang berpidato di depan dalam bahasa Cebuano. “Berdirilah kalian,” kata Brother. Kami pun berdiri tanpa tahu apa yang terjadi. Pria itu lalu berkata, “Thank you for coming, our Sisters from Indonesia! Give applauseee…!“. Maka semua bertepuk tangan riuh menyambut kami. Walah, kami jadi bagian acara! Kami pun menyeringai malu sambil saling sepak-sepakan kaki di bawah meja.

Setelah berhasil ‘kabur’, kami dibawa lagi ke sebuah aula lain. “This is Christmas party of cafetaria staffs,” kata Father. Waduh, bakal ‘terjebak’ lagi nih! Untunglah pesta di situ hampir berakhir, tapi tak disangka-sangka kami masing-masing diberi kantong plastik besar berisi bermacam camilan sebagai goodie bag peserta. Ya ampun, nggak enak bener rasanya. Lalu kami diajak keliling sekolahnya yang spooky, ke stasiun radio, ke asrama, ke museum (ya, saking tuanya sekolah itu, sampe ada museumnya), sambil diperkenalkan ke setiap orang. Kami pun diajak masuk ke kantor Father, rupanya dia menjabat sebagai Vice President of Finance (ironisnya, dia tidak lulus mata kuliah Finance sehingga harus mengulang). Sampailah kami ke lantai paling atas gedung, ternyata sebuah bar semi-outdoor. “Di sini tempat kami berpesta,” kata Brother, dan ia pun membuka kulkas yang berisi banyak bir dan softdrink. Jana membisiki saya, “Nggak apa apa nih kita minum bir dan merokok?”. Saya tertawa dan menerangkan bahwa Father orangnya asik-asik aja, dia juga berpesta, minum alkohol, jago nyanyi, bahkan jago disko. Kami pun menghabiskan malam dengan saling bercerita dan memandang kota Cebu di malam hari dari ketinggian.

Besoknya kami mengunjungi Basilica del Santo Niño, Magellan’s Cross, dan City Hall. Membawa Father memang tepat, kami selalu diberi privilege: tidak bayar tiket masuk dan tidak bayar parkir! Untung yang lain, Father hobinya fotografi, kami dijadikan model sesaat. Siang hari kami diajak ke Pulau Mactan dimana terdapat hotel-hotel berbintang termahal se-Filipina. Persis di sebelah Maribago Bluewater Beach Resort, ternyata gereja Father punya Beach House. Wah, hebat! Rumah berkamar 5 ini berbagi pantai dengan resor mahal. Kami pun piknik bersama di jetty sambil leyeh-leyeh jemuran matahari. Malam harinya, kami dibawa ke Tops yang terletak di Busay Hill (ketinggian 2.000 kaki), dimana seluruh kota Cebu dan Mactan terlihat dengan pemandangan 360º. “Let’s go to a party!”, ajak Father lagi. Nebeng pesta apa lagi nih? Kami diajak ke rumah seorang bapak anggota jemaat gereja yang sedang mengadakan pesta ulang tahun, dan Father akan memimpin doa di sana. Lagi-lagi kami terjebak sekumpulan orang banyak yang tidak kenal namun sangat ramah, dengan makanan enak dan banyak. Hehe!

Hari terakhir kami akan pergi ke Malapascua Island, lagi-lagi Father menawarkan kami untuk mengantar sampai ke kapal karena dia sekalian mau bikin foto pre-wedding anak buahnya. Dengan naik mobil Tamaraw (Kijang-nya Filipina) berisi 8 orang plus barang-barang, kami menempuh perjalanan selama 3 jam. Ketika di jalan raya mobil kami dipepet oleh jeepney, Father membuka jendela mobilnya dan berkata kepada supirnya dengan nada rendah, yang kalau diterjemahkan begini, “Hey, kamu mau cepet-cepet ngundang saya ya untuk mendoakan misa kematian kamu?”. Hehe, jawabannya Father banget! Saya jadi ingat, saya pernah bertanya kepada Father apakah ia punya keinginan seksual (ya, saya memang nekat tanya begitu). Jawabannya, “Saya ini pria normal, tapi saya berkomitmen sepenuhnya untuk membaktikan hidup saya untuk Tuhan dengan melupakan keinginan duniawi. Keinginan itu bisa dialihkan oleh hobby yang saya tekuni, yaitu fotografi.“
(http://naked-traveler.com/2009/03/15/traveling-and-partying-with-father/#more-263)

Tidak ada komentar: