Agustus 25, 2009

Amplop di Kalangan Pemburu Berita



Wartawan senior Indonesia Djafar Assegaff berkomentar tentang amplop di kalangan pemburu berita. Menurut dia, kalau kita mau menegakkan image wartawan yang baik, surat kabar yang baik dan kebebasan pers, maka yang harus dilakukan adalah menghapuskan sistem amplop, kemudian menghapuskan surat kabar-surat kabar yang tidak bisa "menghidupi" dirinya.

IISIP Gazette mewawancarai Djafar di kelas, usai mengajar mata kuliah Hukum dan Etika Pers kepada mahasiswa pascasarjana IISIP Fakultas Ilmu Komunikasi Jurusan Kekhususan Ilmu Jurnalistik. Di lapangan, banyak wartawan media besar yang ternyata juga menerima amplop saat menjalankan tugas kejurnalistikannya. Bagaimana Bapak melihat hal tersebut? Ya, kalau saya melihat hal tersebut, itu adalah pasal yang sangat paling peka, karena kenyataannya kalau kita tanya, mereka itu banyak yang menerima kok. Kadang-kadang mereka menerimanya tidak dalam bentuk uang, tapi dalam bentuk hadiah dan sejenisnya.

Nah, ini yang mengakibatkan terjadinya demoralisasi. Dalam hubungan ini sering juga terjadi adalah semacam, katakan saja, menguntungkan kedua belah pihak. Petugas Humasnya menyediakan uang, ya kan? Entah itu materi ataupun barang dan dia mendapatkan keuntungan. Ini adalah masalah junket journalism, yakni jurnalisme foya-foya. Misalnya diundang ke Thailand atau diundang ke mana-mana dibayarin.

Makanya di Amerika ada code of ethic untuk reporter Amerika. Mereka menegaskan sampai lunch pun, mereka tidak boleh terima. Jadi kalau diundang, ada makan siang...dia tidak boleh terima. Lalu kemudian ada beberapa pegangan lagi...hadiah, bisa dalam bentuk pena atau apa di atas 50 dolar tidak boleh diterima.

Apakah ada konsekuensi sendiri, ketika seorang wartawan menerima sesuatu dari narasumbernya? Ada. Konsekuensinya adalah begitu dia menerima, ya itu tadi kan adanya peraturan-peraturan perusahaan yang konsekuensinya dia bisa dipecat. Tetapi yang lebih penting lagi adalah hati nuraninya. Karena saya teringat kata Mahbub Djunaedi. Mahbub menyatakan kode etik wartawan adalah polisinya kaum wartawan. Dia secara konsekuen menolak.

Ketika ditanyakan kepada wartawan-wartawan yang menerima amplop, mereka beralasan karena gaji yang mereka terima dari kantor sangat kecil, sehingga menyebabkan mereka terpaksa harus mencari "ke tempat lain"? Karena itu ada pegangan bahwa untuk menjaga agar wartawan tidak menerima amplop, standar penggajian mereka harus besar. Jadi musuhnya kebebasan pers adalah pers yang miskin, yang tidak bisa membiayai wartawannya secara baik. Karena itu makanya mereka "mencari" kehidupan di luar.

Jadi kalau kita mau menegakkan image wartawan yang baik, surat kabar yang baik, kebebasan pers adalah menghapuskan sistem amplop, kemudian menghapuskan surat kabar-surat kabar yang tidak bisa menghidupi dirinya. Surat kabar yang miskin, terus terang saja ya itu adalah musuh pertama dari terjadinya demoralisasi wartawan,

Ada juga wartawan-wartawan dari media besar menerima amplop jauh lebih besar lagi. Karena saya tahu sebenarnya ada beberapa wartawan yang menjadi orangnya perusahaan. Kalau kemudian si wartawan itu bilang, aah, yang penting kan kita nggak minta, tapi dikasih?

Tidak bisa kita terima. Itu pegangan banci. Karena demoralisasi terjadi dengan hal-hal yang demikian. Kita harus konsisten. Juga mengenai uang gajinya kecil ataupun tidak, ya dia harus hidup dengan tu. Karena begitu dia dikasih amplop, dia sebetulnya mengingkari dirinya sendiri dan kebebasan wartawan.

Bapak sendiri, pernah punya pengalaman diberi amplop? Banyak sekali. Pengalaman pribadi saya ikut rombongan Pak Harto. Press officernya Pak Harto membagi-bagikan uang 100 dolar pada waktu itu. Ibu Tien juga suka memberikan barang melalui stafnya, "ini dari ibu." Kita sulit menolak. Kalau ditolak, kita mungkin akan dikomentari, belagu amat nih wartawan.

Sanksi hukumnya sendiri bagaimana, Pak? Kalau di tempat kami, di Media Indonesia, wartawan yang terima amplop dipecat. Itu juga yang diberlakukan di Kompas dan Tempo. Kalau ada wartawan yang ketahuan menerima amplop, lalu disidangkan. Kalau terbukti, pecat. (Report by Gazette; mediaindonesia.com; citizen journalism)

Tidak ada komentar: